
Jakarta. Visioneernews.com — Publik kembali diguncang oleh tayangan televisi yang dianggap melecehkan dunia pesantren. Dalam tulisan opininya berjudul “Baguslah Kalau Stasiun TV Bikin Kesalahan”, jurnalis senior Wicaksono menumpahkan kritik keras terhadap industri hiburan yang dinilai kehilangan akal sehat dan moralitas.
Menurut Wicaksono, tayangan yang viral itu bukan produk jurnalistik, melainkan hasil produksi sebuah production house (PH) yang lebih mementingkan rating dan viralitas ketimbang nilai etika dan penghormatan terhadap budaya pesantren.
“Itu bukan hasil kerja reporter, bukan berita. Itu hasil kerja pabrik hiburan yang berpikir rating bisa menebus apa saja — bahkan harga diri orang lain,” tulisnya.
Ia menilai tayangan tersebut menjadikan santri hanya sebagai properti visual, kiai sebagai figur eksotis, dan pesantren sekadar latar yang dianggap ‘unik’ untuk hiburan publik.
“Tak ada niat edukasi, tak ada empati terhadap pesantren. Yang ada cuma kalkulasi murahan: menampilkan adegan yang dianggap lucu agar viral,” ujarnya.
Lebih jauh, Wicaksono menyoroti hilangnya etika produksi dan empati budaya di ruang redaksi televisi. Menurutnya, keputusan menayangkan adegan penghormatan yang dipelintir menjadi bahan komedi mencerminkan kemerosotan moral industri hiburan.
“Beginilah kalau moral diganti brief sponsor. Mereka tertawa di ruang rapat sambil memutuskan ‘bikin versi lucu aja biar ringan’, tanpa berpikir apakah itu pantas,” kritiknya.
Wicaksono menyebut, reaksi keras para santri dan alumni pesantren yang mendatangi kantor stasiun TV bukan hal berlebihan, melainkan bentuk perlawanan terhadap eksploitasi simbol-simbol religius yang selama ini dijadikan bahan tontonan.
“Saya tak kaget ketika santri menggeruduk kantor TV itu. Justru saya heran kenapa baru sekarang. Industri hiburan sudah lama kehilangan akal sehat,” katanya.
Ia juga menuding bahwa PH yang memproduksi tayangan tersebut hanyalah “parasit yang menempel di tubuh media” dan hanya peduli pada perhatian publik, bukan pada nilai-nilai.
“Lucunya, begitu publik marah, mereka bersembunyi di balik alasan klasik: ‘tidak ada niat menyinggung’. Itu kalimat paling pengecut yang pernah diciptakan industri hiburan,” tulisnya tegas.
Lebih lanjut, Wicaksono menilai krisis moral televisi swasta terjadi karena orientasi pasar telah menggantikan tanggung jawab sosial media.
“Kalau penghormatan pada guru saja dijadikan bahan ketawa, tunggu saja kapan kasih sayang pada orang tua jadi sketsa komedi,” sindirnya.
Ia pun menuntut pertanggungjawaban manajemen stasiun televisi, bukan hanya PH, sebab tayangan semacam itu mustahil lolos tanpa persetujuan internal.
“Berhenti bersembunyi di balik production house. Kalau sungguh peduli, direktur programnya harus mundur, atau PH-nya di-blacklist,” tegas Wicaksono.
Tulisan itu ditutup dengan refleksi getir atas perubahan prinsip dalam dunia media.
“Dulu kami punya prinsip sederhana: kalau ragu, jangan siarkan. Sekarang diganti: kalau ramai, tayangkan. Maka jadilah media kita hari ini — gaduh tapi kosong.”
Dengan nada tajam, Wicaksono menyimpulkan bahwa insiden ini seharusnya menjadi pelajaran bagi industri hiburan agar kembali memahami arti adab dalam berkarya.
“Biar saja mereka panik dan dicaci. Mungkin dengan cara itu, mereka belajar sedikit tentang adab — kata yang sudah lama hilang dari kamus dunia hiburan kita,” tutupnya.
(Dion)
0 Komentar