INSIDEN KALIBATA: DUA DEBT COLLECTOR TEWAS, TERSANGKA DITETAPKAN — NAMUN KEBENARAN BELUM UTUH, KINERJA POLRI DIPERTANYAKAN

INSIDEN KALIBATA: DUA DEBT COLLECTOR TEWAS, TERSANGKA DITETAPKAN — NAMUN KEBENARAN BELUM UTUH, KINERJA POLRI DIPERTANYAKAN

JAKARTA. Visioneernews.com — Kepolisian Republik Indonesia akhirnya mengungkap dan menetapkan tersangka dalam kasus pembunuhan dua orang debt collector yang tewas dalam insiden berdarah di Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (12/12/2025). Dalam konferensi pers resmi, Polri menyebut telah mengantongi identitas pelaku pengeroyokan dan memproses hukum enam oknum anggota kepolisian yang kini juga telah dijatuhi sanksi etik oleh Divisi Propam Polda Metro Jaya.

Namun, pengungkapan tersebut belum sepenuhnya menjawab kegelisahan publik.

Di balik cepatnya penetapan tersangka, masih ada pertanyaan besar yang tak tersentuh:
mengapa penegakan hukum Polri hanya tampak tegas pada satu perkara, tetapi lumpuh pada kejahatan lain yang terjadi di TKP yang sama?

Dua Nyawa Hilang, Tapi Hukum Belum Tegak Sepenuhnya

Peristiwa Kalibata bukan sekadar kasus pengeroyokan berujung maut. Tragedi ini memuat rangkaian pelanggaran hukum berlapis—mulai dari praktik penarikan kendaraan ilegal, kekerasan aparat, hingga pembakaran kios dan perusakan fasilitas umum.

Ironisnya, hingga kini Polri baru bergerak cepat pada satu sisi perkara: pengeroyokan yang menyebabkan kematian, karna adanya desakan.

Sementara kejahatan lain seolah dibiarkan menguap.

Penarikan Paksa: Pelanggaran Fidusia yang Terus Diabaikan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah secara tegas melarang perusahaan pembiayaan maupun debt collector melakukan penarikan kendaraan secara paksa di jalan. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Fidusia dan diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi, yang mewajibkan eksekusi fidusia dilakukan melalui mekanisme hukum, bukan intimidasi lapangan.

Namun praktik ilegal ini terus berlangsung, nyaris tanpa pengawasan efektif.

Kasus Kalibata menjadi bukti nyata kegagalan negara menertibkan praktik penagihan utang yang brutal dan berpotensi memicu konflik horizontal.
Pertanyaannya:
di mana peran pengawasan Polri sebelum tragedi ini terjadi?

Oknum Polisi, Kekerasan, dan Keadilan yang Tertunda

Tindakan enam oknum anggota kepolisian yang diduga melakukan penganiayaan hingga menewaskan dua orang tidak bisa disederhanakan sebagai pelanggaran etik semata. Ini adalah kejahatan pidana serius.

Dalam hukum pidana, kekerasan yang menyebabkan kematian dapat dijerat pasal pembunuhan atau penganiayaan berat berujung maut dalam KUHP.

Publik kini menyoroti pola lama yang kembali terulang:
sanksi etik dipercepat, tetapi proses pidana berjalan lambat dan penuh kehati-hatian.

Mengapa ketika pelaku adalah aparat, hukum seolah harus menunggu kenyamanan institusi?

Pembakaran Kios dan Perusakan Kendaraan: Hukum Seolah Mandul

Lebih mencolok lagi, hingga berita ini diturunkan, belum satu pun pelaku pembakaran kios dan perusakan kendaraan ditetapkan sebagai tersangka. Padahal peristiwa tersebut terjadi di ruang publik, disaksikan banyak orang, dan jelas memenuhi unsur tindak pidana berat.

Pembakaran dan perusakan fasilitas umum merupakan kejahatan serius yang membahayakan keselamatan masyarakat serta merugikan warga kecil yang kehilangan sumber penghidupan.

Di titik ini, publik menilai hukum berjalan timpang.

Jika pelaku pengeroyokan bisa diungkap dalam waktu singkat,
mengapa pelaku pembakaran dan pengrusakan justru seperti menghilang tanpa jejak?

Cepat Mengungkap Pelaku, Lambat Mengungkap Kebenaran Utuh

Masyarakat mengapresiasi kecepatan Polri dalam mengungkap pelaku pembunuhan dua debt collector. Namun apresiasi itu berubah menjadi kritik keras ketika kejahatan lain yang tak kalah serius justru dibiarkan tanpa kejelasan.

Situasi ini memunculkan dugaan standar ganda dalam penegakan hukum.

Kasus yang “mudah” dan terfokus dituntaskan.
Kasus yang menyentuh kepentingan massa, provokator, atau potensi konflik lebih luas—justru dihindari.

Desakan Publik: Ungkap Provokator, Tegakkan Hukum Tanpa Tebang Pilih

Masyarakat mendesak Kapolri untuk membuka seluruh fakta, bukan hanya sebagian yang aman bagi citra institusi. Siapa provokator pembakaran? Siapa pelaku pengrusakan? Mengapa hingga kini mereka belum tersentuh hukum?

Warga yang kiosnya dibakar dan kendaraannya dirusak tidak butuh konferensi pers.
Mereka butuh keadilan yang nyata.

Baca Juga : https://www.visioneernews.com/2025/12/ketum-ppwi-gelar-pertemuan-silaturahmi.html 

https://www.visioneernews.com/2025/12/instruksi-presiden-prabowo-untuk.html

Ujian Integritas Polri

Insiden Kalibata adalah ujian serius bagi Polri untuk membuktikan komitmen reformasi internalnya. Transparansi, akuntabilitas, dan keberanian menindak tanpa pandang bulu bukan sekadar slogan.

Masyarakat mulai jenuh dengan pola lama:
cepat ketika viral, lambat ketika sunyi.

Haruskah Selalu Viral Dulu?

Pertanyaan keras pun menggantung di ruang publik:

Apakah penegakan hukum di negeri ini harus menunggu kemarahan publik dan tekanan media sosial?
Apakah keadilan hanya hadir ketika kasus menjadi konsumsi nasional?

Kalibata bukan sekadar tragedi.
Ia adalah cermin kejujuran Polri di hadapan rakyatnya sendiri.

Kini publik menunggu satu jawaban nyata:
apakah Polri akan menuntaskan seluruh kejahatan di Kalibata—atau hanya memilih yang paling aman untuk diungkap?

"Pemerhati Keadilan Hukum Dari Pewarta PPWI DKI Jakarta" Dion.

Posting Komentar

0 Komentar