ODL Tanpa RPP dan Evaluasi, Sekolah di Krian Diduga Langgar Prinsip Pendidikan

ODL Tanpa RPP dan Evaluasi, Sekolah di Krian Diduga Langgar Prinsip Pendidikan

Krian. Visioneernews.com — Program Outdoor Learning (ODL) yang diklaim sebagai bagian dari kebijakan Dinas Pendidikan, pada praktiknya di sejumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, diduga kuat telah menyimpang dari tujuan pendidikan. Fakta di lapangan menunjukkan, ODL justru lebih menyerupai wisata massal ketimbang kegiatan pembelajaran terukur dan berorientasi akademik.

Sejumlah tokoh pemuda Krian bersama elemen masyarakat yang menindaklanjuti aspirasi wali murid menemukan bahwa mayoritas pelaksanaan ODL tidak disertai perangkat pembelajaran resmi. Tidak ditemukan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) khusus ODL, indikator capaian kompetensi, maupun sistem evaluasi hasil belajar yang jelas. Siswa diberangkatkan ke luar kota, mengunjungi lokasi wisata, tanpa kejelasan substansi pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan.

“Ini bukan lagi sekadar salah kaprah, tapi sudah mengarah pada pembelokan makna ODL secara sistematis. Namanya ODL, faktanya wisata. Ibarat pisang goreng dibungkus roti, bungkusnya pendidikan, isinya rekreasi,” tegas Arri Pratama, tokoh pemuda Krian.

Temuan yang lebih memprihatinkan, sejumlah sekolah diduga menggunakan ancaman akademik sebagai alat pemaksaan agar siswa mengikuti ODL. Informasi yang dihimpun menyebutkan adanya pernyataan tidak tertulis bahwa siswa yang tidak mengikuti kegiatan tersebut terancam tidak mendapatkan nilai, dicatat tidak hadir, atau tidak diikutkan dalam penilaian tertentu.

Baca Juga: 
https://www.visioneernews.com/2025/12/berantas-narkoba-hingga-kepulauan.html

Praktik tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan dalam pendidikan dan berpotensi melanggar hak peserta didik.

“Kalau kegiatan ini benar-benar edukatif dan sukarela, mengapa harus ada ancaman nilai? Ini bukan pembelajaran, ini tekanan,” lanjut Arri.

Selain dugaan pemaksaan, ODL juga dinilai membebani wali murid secara finansial. Biaya yang dipungut bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah per siswa. Ironisnya, biaya tersebut kerap dikemas sebagai hasil “kesepakatan bersama”, padahal posisi wali murid berada dalam tekanan karena menyangkut masa depan pendidikan anak.

“Kalau ini program pendidikan, mengapa wali murid harus menanggung biaya besar? Kalau ini study tour, katakan study tour. Jangan memanipulasi istilah demi melegalkan pungutan,” kata Arri dengan nada keras.

Lebih jauh, pelaksanaan ODL justru sering dilakukan ke luar daerah, sementara potensi pembelajaran lokal di Kabupaten Sidoarjo diabaikan. Padahal, Sidoarjo memiliki banyak lokasi edukatif yang relevan dengan kurikulum, mulai dari kawasan industri, UMKM, situs sejarah, hingga edukasi lingkungan.

Temuan lapangan juga mengarah pada dugaan keterlibatan pihak travel atau biro perjalanan dalam pelaksanaan ODL. Pola kegiatan, pemilihan lokasi, hingga sistem paket perjalanan menunjukkan kecenderungan komersial yang lebih dominan dibanding pendekatan pedagogis.

“Kalau orientasinya pendidikan, guru yang menyusun konsep. Tapi yang terjadi justru jadwal dan lokasi mengikuti pola biro perjalanan. Ini patut dipertanyakan,” ujar Arri.

Arri Pratama, yang juga mahasiswa Program Studi Hukum Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya, menegaskan bahwa praktik ini berpotensi menciptakan ketidakadilan sosial.

“Tidak semua wali murid memiliki kemampuan ekonomi yang sama. Ketika kegiatan semacam ini dipaksakan, negara seolah absen melindungi masyarakat kecil. Belum lagi risiko keselamatan siswa yang kerap dianggap sepele,” ungkapnya.

Senada dengan itu, Muhammad Helmi dari LSM LIRA menilai bahwa kegiatan outing class seharusnya dilaksanakan di wilayah Sidoarjo atau area sekitar sekolah. Menurutnya, Kota Delta memiliki banyak potensi edukatif yang layak dimanfaatkan.

“Di Sidoarjo banyak tempat yang bisa dijadikan sarana pembelajaran, seperti Candi Pari, Candi Dermo, hingga wisata edukasi terkait bencana Lumpur Lapindo di Porong. Semua itu relevan dengan sejarah, lingkungan, dan karakter daerah,” ujar Helmi.

Ia juga menegaskan pentingnya transparansi biaya dan larangan pemaksaan kepada peserta didik.

“Sekolah dan dinas harus terbuka soal biaya. Tidak boleh ada tekanan atau paksaan kepada siswa untuk mengikuti outing class. Pendidikan tidak boleh memberatkan, apalagi memiskinkan,” tegasnya.

Langkah Lanjutan: Audiensi dengan Dinas Pendidikan

Setelah menghimpun data dan mendatangi sejumlah SLTP di Kecamatan Krian, para aktivis pemuda bersama elemen masyarakat berencana menggelar audiensi resmi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo. Audiensi tersebut bertujuan meminta kejelasan regulasi ODL, batasan biaya, serta transparansi kerja sama dengan pihak ketiga.

“Kami tidak anti pembelajaran luar kelas. Tapi kami menolak pendidikan dijadikan kedok bisnis. Jika praktik ini terus dibiarkan, kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan akan runtuh,” pungkas Arri.
(Redho)

Posting Komentar

0 Komentar