Jakarta, Visioneernews.com — Maraknya praktik penarikan kendaraan bermotor oleh perusahaan pembiayaan (leasing) melalui mekanisme stop di jalan kembali memantik kritik publik. Praktik yang jelas meresahkan masyarakat ini terus terjadi, namun hingga kini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai belum menunjukkan sikap tegas terhadap perusahaan pembiayaan yang melanggar hukum.
Penarikan kendaraan secara sepihak oleh debt collector bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, khususnya Pasal 29 ayat (1), yang mengatur bahwa eksekusi objek jaminan fidusia hanya dapat dilakukan melalui prosedur hukum yang sah. Terlebih lagi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 telah menegaskan bahwa eksekusi tidak boleh dilakukan sepihak tanpa adanya kesepakatan wanprestasi dan penyerahan sukarela dari debitur.
Namun realitas di lapangan justru berbanding terbalik. Banyak perusahaan pembiayaan tetap menggunakan jasa pihak ketiga tanpa kejelasan SOP, bahkan kerap disertai intimidasi terhadap konsumen. Ironisnya, kondisi ini seolah dibiarkan oleh OJK selaku lembaga pengawas industri jasa keuangan.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, khususnya Pasal 6 dan Pasal 9, OJK memiliki kewenangan penuh untuk mengatur, mengawasi, hingga menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha jasa keuangan yang melanggar ketentuan. Selain itu, POJK Nomor 22/POJK.01/2023 tentang Perlindungan Konsumen secara tegas mewajibkan perusahaan pembiayaan untuk mengedepankan prinsip keadilan, transparansi, dan perlindungan terhadap konsumen.
Baca Juga: https://www.visioneernews.com/2025/12/wali-kota-bekasi-resmikan-gerai-umkm.html
Ketidaktegasan OJK dalam menyikapi praktik penarikan kendaraan di jalan justru menempatkan masyarakat pada posisi paling dirugikan. Konsumen tidak hanya kehilangan hak atas kendaraannya, tetapi juga mengalami tekanan psikologis akibat tindakan yang berpotensi melanggar hukum pidana.
Penarikan paksa kendaraan di ruang publik, apalagi disertai ancaman atau kekerasan, dapat memenuhi unsur Pasal 365 dan/atau Pasal 368 KUHP. Oleh karena itu, sudah semestinya OJK tidak berjalan sendiri, melainkan bersinergi dengan Kepolisian Republik Indonesia untuk menertibkan perusahaan pembiayaan yang menyimpang dari aturan hukum.
Visioneernews.com menilai, pembiaran terhadap praktik ilegal ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap OJK. Jika lembaga pengawas tidak hadir secara nyata di tengah persoalan masyarakat, maka fungsi perlindungan konsumen yang diamanatkan undang-undang patut dipertanyakan.
Hukum harus ditegakkan secara adil dan konsisten. OJK dituntut tidak hanya menjadi regulator di atas kertas, tetapi hadir sebagai pengawas yang berani dan berpihak pada keadilan, demi terciptanya kepastian hukum bagi konsumen maupun pelaku usaha pembiayaan.
(Dion)

0 Komentar