Pembangunan Membabi Buta, Lingkungan Hidup Terus Dikorbankan: “BUMI CUKUP UNTUK KEBUTUHAN, BUKAN KERAKUSAN!”

Pembangunan Membabi Buta, Lingkungan Hidup Terus Dikorbankan: “BUMI CUKUP UNTUK KEBUTUHAN, BUKAN KERAKUSAN!”

Jakarta. Visioneernews.com - Indonesia kembali menghadapi kenyataan pahit: usaha perlindungan lingkungan hidup masih dianggap remeh, bahkan kerap diposisikan sebagai penghambat pembangunan. Dalam paradigma pembangunan yang makin didominasi kepentingan ekonomi jangka pendek, alam seolah ditempatkan hanya sebagai objek eksploitasi tanpa batas.

Di balik narasi “pembangunan nasional”, kerusakan hutan terus terjadi, sumber air bersih menipis, ekosistem rusak, dan kualitas udara semakin memburuk. Ironisnya—siapa pun yang bersuara soal perlindungan lingkungan sering diberi label sebagai penghalang kemajuan.

Padahal, seperti yang dipertegas oleh Gandhi, “Earth provides enough to satisfy every man’s need, but not even one man’s greed.”
Bumi menyediakan cukup untuk kebutuhan setiap manusia, tetapi tidak akan pernah cukup untuk melayani kerakusan segelintir orang.

Antara Posisi Anthropocentris dan Ecocentris: Kita Mau Ke Mana?

Bangsa ini dihadapkan pada dua pilihan fundamental:

1. Tetap bertahan dalam paradigma anthropocentris
—yang memandang lingkungan hidup tidak lebih dari pelayan kebutuhan manusia, sehingga boleh dieksploitasi tanpa memikirkan keberlanjutan.

2. Atau beralih ke posisi ecocentris
—yang memandang manusia sebagai bagian dari ekosistem, bukan penguasa tunggal atas alam. Paradigma ini menuntut harmoni, penghormatan terhadap daya dukung lingkungan, dan keputusan politik yang berpihak pada keberlanjutan masa depan.

Kedua paradigma ini bukan sekadar konsep akademis, tetapi titik penentu apakah Indonesia akan menjadi bangsa yang beradab dan visioner, atau bangsa yang jatuh karena kerakusan dan kelalaian sendiri.

Mengabaikan Perlindungan Lingkungan Sama Saja dengan Menggali Kubur Peradaban

Ketika izin tambang dikeluarkan tanpa kajian matang, ketika reklamasi dan alih fungsi lahan dipercepat tanpa menimbang daya tampung ekologi, ketika industri dibiarkan mencemari sungai dan udara, maka sesungguhnya negara sedang membiarkan bencana demi bencana mengintai warganya sendiri.

Masihkah perlindungan lingkungan dianggap menghambat pembangunan?
Atau justru pembangunan destruktif hari ini adalah bom waktu yang akan meledak di masa depan?

Kita perlu bertanya dengan jujur:
Pembangunan untuk siapa? Untuk rakyat, atau untuk rakusnya para elite berkepentingan?

Seruan Moral: Saatnya Berpihak pada Masa Depan

Tulisan ini mengajak seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, penegak hukum, korporasi, dan masyarakat—untuk berhenti memandang perlindungan lingkungan sebagai musuh. Justru di situlah letak masa depan bangsa ini.

Karena ketika alam hancur, tak satu pun pencapaian pembangunan yang akan berarti.

Penulis:
Dr. Rangga Lukita Desnata, S.H., M.H.
Hakim Pengadilan Negeri Muara Enim

(Dion)

Posting Komentar

0 Komentar