Kepada Pemerintah Republik Indonesia, Sebuah Suara Dari Aceh yang Sedang Luka

Kepada Pemerintah Republik Indonesia,
Sebuah Suara Dari Aceh yang Sedang Luka

Banda Aceh. Visioneernews.com - Aceh telah lebih dari seminggu berada dalam kondisi darurat. Banjir dan longsor melanda sebagian besar wilayah. Banyak warga terjebak tanpa akses, jaringan komunikasi terputus, listrik padam berhari-hari, dan keluarga saling kehilangan kabar. Rumah-rumah hanyut, bahkan ada satu kampung yang hilang ditelan banjir. Sejumlah jenazah masih tertimbun tanah, belum dapat dievakuasi dengan layak.

Di pos-pos pengungsian, anak-anak menangis kelaparan. Bayi tidak memiliki susu. Ibu-ibu kehabisan makanan dan air bersih. Banyak yang mulai jatuh sakit karena dingin, tenda seadanya, dan kurangnya gizi. Ketika kami datang membawa sedikit bantuan, mereka tidak meminta banyak. Mereka hanya meminta air dan sepotong roti—tanda bahwa kebutuhan paling dasar pun belum terpenuhi.

Fakta di lapangan menunjukkan:
Sekitar 80% wilayah Aceh terdampak langsung oleh banjir dan longsor.
Sementara 20% lainnya meski tidak tergenang, ikut lumpuh akibat padamnya listrik, hilangnya jaringan, dan berhentinya suplai air bersih.

Artinya, 100% wilayah Aceh saat ini berada dalam situasi bencana. Tidak ada satu daerah pun yang sepenuhnya aman.
Ini bukan lagi bencana daerah ini sudah seharusnya ditetapkan sebagai bencana nasional.

Namun hingga kini, penetapan tersebut belum dilakukan. Pemerintah pusat meminta daerah “mengambil langkah penanganan”, sementara di banyak wilayah bantuan belum menyentuh masyarakat yang sangat membutuhkan. Bantuan yang tersedia tidak memadai untuk menutup kebutuhan dasar ribuan korban.
Ketika masyarakat internasional berniat mengulurkan tangan, Indonesia menolak dengan alasan “masih mampu menangani sendiri”. Tetapi kenyataannya, banyak wilayah di Aceh masih terisolasi dan menunggu pertolongan. Yang lebih menyedihkan, sebagian pejabat tampak lebih mengutamakan pencitraan ketimbang kehadiran nyata di lapangan. Ada bantuan yang dibungkus dengan nama pejabat, seakan-akan itu dana pribadi mereka padahal itu berasal dari uang negara dan rakyat.

Apakah ini balasan negara kepada Aceh?
Apakah negara sudah lupa bahwa ketika Indonesia berada dalam rapuhnya sejarah, Aceh berdiri di garis depan untuk negeri ini?

Di tengah rasa kecewa, kami tetap bersyukur. Saudara-saudara dari berbagai daerah di Indonesia yang datang membantu tanpa pamrih adalah bukti bahwa persaudaraan sesama anak bangsa masih kuat. Mereka datang tanpa mencantumkan nama, tanpa kamera, tanpa pencitraan. Mereka datang dengan hati.

Aceh tetap setia kepada Indonesia. Namun bila suatu saat kami dianggap tidak penting, atau dianggap beban bagi negara, maka izinkan Aceh berdiri dengan kemandiriannya sendiri.

Ini bukan ancaman.
Ini adalah suara hati rakyat Aceh yang sedang berjuang hidup di tengah bencana besar dan merasa diabaikan oleh negaranya sendiri.

Penulis:
M. Nur, S.I.Kom., M.I.Kom
Seorang akademisi

#PresidenPrabowosubianto#TNI-Polri

Posting Komentar

0 Komentar