Oleh: Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alumni Ponpes Krapyak Yogyakarta
YOGYAKARTA. Visioneernews.com – Tayangan salah satu televisi nasional, Trans7, pada Senin (13/10/2025) memantik kegelisahan luas di kalangan masyarakat pesantren. Dalam liputan tersebut, kehidupan pesantren digambarkan secara keliru: kiai menerima amplop dari santri, santri jongkok atau “ngesot”, dan kegiatan ro’an atau kerja bakti diasumsikan sebagai bentuk perendahan martabat.
Narasi visual yang dibumbui suara tawa ringan dari penyiar perempuan itu menggiring publik pada kesimpulan dangkal: bahwa pesantren adalah ruang feodal dan tertutup. Padahal, framing semacam ini bukan hanya keliru secara faktual, tetapi juga salah secara paradigmatik.
“Masalahnya bukan pada fakta visual, melainkan pada cara pandang yang melatarinya,” tegas Prof. Abdul Mustaqim. Menurutnya, media kerap melihat pesantren dengan kacamata etik, yakni pandangan luar yang terikat oleh logika institusi modern dan sekuler—seolah-olah hubungan guru dan murid hanya sebatas relasi pedagogis formal seperti di sekolah umum.
Padahal, lanjutnya, dunia pesantren berdiri di atas paradigma emik—sebuah sistem makna yang lahir dari dalam tradisi Islam Nusantara itu sendiri. Dalam tradisi ini, relasi kiai dan santri bukan hubungan transaksional atau hierarkis, melainkan relasi spiritual, keilmuan, dan pengabdian.
Adab, Bukan Feodalisme
Dalam dunia pesantren dikenal konsep Bil Khidmah Tunalul Barakah—melalui pengabdian, seseorang memperoleh keberkahan. Menghormati kiai dengan duduk sopan, mencium tangan, atau bahkan “ngesot” di hadapan guru bukanlah simbol penindasan, melainkan ekspresi ta‘zhim, yaitu penghormatan spiritual kepada pewaris ilmu dan pembimbing ruhani.
“Amplop atau hadiah dari santri kepada kiai bukan suap atau transaksi. Itu bagian dari tabarrukan, mencari keberkahan,” jelas Prof. Mustaqim. “Banyak kiai justru mandiri secara ekonomi, punya usaha, bahkan membantu santrinya tanpa pamrih.”
Menurutnya, kesalahan tafsir media terhadap simbol dan tradisi pesantren muncul karena keterbatasan perspektif. “Jika dilihat dari paradigma luar, pesantren tampak feodal. Tapi dari dalam, maknanya luhur dan spiritual,” ujarnya.
Konteks Sosial dan Kedaulatan Makna
Prof. Mustaqim mengutip teori sosiolog Karl Mannheim tentang relativitas pengetahuan sosial. “Makna sosial tidak pernah netral. Ia selalu lahir dalam konteks sosial-historis tertentu,” tulisnya.
Dalam konteks ini, media modern kerap terjebak pada ideologi modernitas—segala sesuatu harus rasional, egaliter, dan terukur dengan logika pasar. Sementara pesantren hidup dalam semesta makna berbeda, di mana ilmu dianggap warisan suci dan guru dimuliakan sebagai pewaris para nabi.
Akibatnya, ketika realitas pesantren dibaca dengan kacamata modern, makna luhur berubah menjadi distorsi: yang suci dianggap feodal, yang tawadhu’ dituduh inferior.
Pesantren, Pilar Peradaban Islam Nusantara
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan ruang reproduksi nilai sosial dan spiritual. Tradisi ro’an atau kerja bakti, misalnya, bukan perintah jongos, tapi latihan tanggung jawab kolektif dan gotong royong.
Bahkan, banyak santri yang membantu kiai dalam kegiatan sehari-hari justru mendapat keringanan biaya pendidikan atau makan-minum gratis. “Hal semacam ini tidak dipahami media luar yang hanya menilai dari citra visual,” kata Prof. Mustaqim.
Sikap hormat pada kiai bukan bentuk pembodohan, tapi pembelajaran karakter rendah hati di hadapan ilmu. Ironisnya, media televisi lebih suka memburu sensasi daripada memahami kedalaman nilai lokal.
Kolonialisasi Makna dan Tanggung Jawab Jurnalisme
Prof. Mustaqim menegaskan, kritik terhadap liputan Trans7 bukanlah upaya menolak transparansi, tetapi bentuk perlawanan terhadap kolonialisasi makna.
“Pesantren berhak menjelaskan dirinya sendiri. Dunia pesantren bukan objek eksotisme atau penghakiman moral media,” tandasnya.
Ia mengajak jurnalis untuk menggunakan pendekatan fenomenologi—menyelami makna yang dihidupi para pelaku tradisi, bukan sekadar mengamati dari permukaan.
“Media seharusnya menjadi jembatan pemahaman, bukan alat penghakiman,” pungkasnya.
📍 PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta, 15 Oktober 2025
Yayasan Pendidikan Islam Al Barkah
(Pondok Pesantren Tahfidz Qur’an Al Barkah, Bekasi & Cianjur)
(Red/Dion)
0 Komentar