Masjid Raya Kenagarian Koto Tangah Dikepung Banjir dan Krisis Air Bersih: Negara Absen, Tokoh Lokal Membisu

Masjid Raya Kenagarian Koto Tangah Dikepung Banjir dan Krisis Air Bersih: Negara Absen, Tokoh Lokal Membisu

PADANG. Visioneernews.com — Masjid Raya Kenagarian Koto Tangah, salah satu masjid tertua dan paling bersejarah di kawasan Lubuk Minturun, Kota Padang, kembali terjebak dalam lingkaran tragedi yang sama: banjir datang, negara menghilang, dan tokoh masyarakat memilih diam. Pascabanjir besar 27 November 2025, masjid yang telah berdiri lebih dari satu abad itu bukan hanya rusak dan dipenuhi lumpur, tetapi kini menghadapi krisis yang lebih mendasar—air bersih tak mengalir.

Ironis dan memalukan. Di negeri yang mengklaim religius, sebuah masjid raya justru lumpuh karena tak memiliki air untuk berwudhu. Negara yang rajin berbicara soal moral dan pembangunan berkelanjutan, nyatanya gagal memenuhi kebutuhan paling elementer umat: air.

Masjid ini bukan bangunan biasa. Sejak 1907, Masjid Raya Kenagarian Koto Tangah telah menjadi pusat ibadah, pendidikan Al-Qur’an, dan aktivitas sosial masyarakat. Ia pernah hanyut diterjang banjir besar, lalu dibangun kembali pada 1917 melalui musyawarah tokoh adat dan masyarakat. Namun lebih dari seratus tahun kemudian, sejarah pahit itu seakan terulang—tanpa sedikit pun pelajaran yang diambil oleh pengambil kebijakan hari ini.

Baca Juga: https://www.visioneernews.com/2025/12/dugaan-pelanggaran-tata-ruang-tambak.html

Banjir akhir November lalu merendam masjid, rumah warga, merusak fasilitas, bahkan merenggut korban jiwa. Tetapi ketika air surut, penderitaan tidak ikut surut. Aliran air bersih terputus. Upaya swadaya warga seperti menggali sumur dan mendatangkan air darurat hanya menjadi solusi tambal sulam. Negara tetap tak hadir dengan kebijakan permanen.

Yang lebih mencederai akal sehat, aliran PDAM ke masjid dihentikan karena tunggakan pembayaran. Di tengah status darurat bencana, logika administratif dipaksakan tanpa empati. Di mana kebijakan khusus bagi fasilitas ibadah terdampak bencana? Atau memang masjid tidak lagi dianggap sebagai kepentingan publik?

Kritik tajam juga patut diarahkan kepada para tokoh masyarakat setempat—penghulu, ninik mamak, dan figur-figur yang selama ini lantang bicara adat dan agama di panggung seremoni. Ketika masjid kehabisan air untuk wudhu, suara mereka lenyap. Kepemimpinan moral yang sering diklaim, runtuh di hadapan krisis nyata.

“Masjid ini milik umat, bukan milik satu kaum. Tapi saat kami benar-benar membutuhkan, tak satu pun yang hadir memberi solusi,” keluh seorang warga kepada awak mediainvestigasi.net.

PDAM dan Pemerintah Kota Padang pun tak luput dari sorotan. Janji bantuan air bersih yang pernah disampaikan tak pernah berwujud. Tak ada skema keringanan, tak ada pasokan darurat berkelanjutan, tak ada keberpihakan. Yang tersisa hanya birokrasi dingin di hadapan penderitaan warga.

Peristiwa di Masjid Raya Kenagarian Koto Tangah membuka borok lama yang terus dibiarkan: negara dan elite rajin hadir saat peresmian, tetapi absen saat rakyat menuntut tanggung jawab. Jika masjid bersejarah saja dibiarkan krisis air, apa jaminan fasilitas publik lain tidak bernasib sama?

Masyarakat kini tidak lagi butuh retorika. Mereka menuntut tindakan nyata: pemulihan air bersih segera, kejelasan tanggung jawab, dan keberpihakan yang konkret.

Membiarkan masjid kekeringan di tengah bencana bukan sekadar kelalaian—ini adalah potret kegagalan kolektif yang tak bisa terus ditoleransi.

Sumber : Mediainvestigasi.net 

Posting Komentar

0 Komentar